Minggu, 01 Mei 2022

Kebudayaan: Ilmu Antropologi

https://makassar.kompas.com

A. Definisi Menurut Ilmu Antropologi 

Menurut ilmu Antropologi, "kebudayaan" adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 

Artinya, hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu tindakan naluri, refleks, tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. 

Tindakan naluri manusia yang dibawa dalam gen bersama kelahirannya seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kaki merupakan tindakan berkebudayaan. 

Definisi yang menganggap bahawa “kebudayaan” dan “tindakan kebudayaan” itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior) diajukan oleh beberapa ahli antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. davis, atau A. Hoebel. 

Dua orang sarjana antropologi, A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn, mengumpulkan 160 tulisan definisi tentang kebudayaan kemudian mereka analisis, dicari latar belakang, prinsip, dan intinya, kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe definisi. 

Hasil penelitian diterbitkan menjadi buku berjudul: Culture, A Critical Review of Concepts and Definitions (1952).

1. Kebudayaan (Culture) dan Peradaban 

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Kemudian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal. 

Ada pula istilah “peradaban” yang sering di pakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan yang dari masyarakat kota yang maju dan kompleks. 

2. Sifat Superorganik dari Kebudayaan 

Dengan kemampuan akal dan beberapa peralatan sederhana, manusia dapat hidup selama hampir 2 juta tahun. Kebudayaan berevolusi dengan lambat. Namun setelah zaman itu, tampak bahwa evolusi kebudayaan manusia mulai agak cepat jika dibandingkan dengan evolusi organiknya. 

Kemudian hanya 50.000 tahun setelah itu, ketika dalam proses evolusi organik tampak perbedaan beragam ras, maka dalam proses evolusi kebudayaan telah mulai tampak alat-alat dengan teknologi rumit seperti busur panah. 

Adapun suatu perkembangan yang meloncat cepat adalah ketika dalam waktu hanya 20.000 tahun saja, berkembang kepandaian manusia untuk bercocok tanam. 

Setelah revolusi bercocok tanam dan kehidupan menetap, yang menyebabkan meloncatnya pertambahan jumlah manusia hanya dalam jangka waktu separuhnya dari jangka waktu proses perkembangan bercocok tanam, yaitu 6.000 tahun kemudian, timbul lagi suatu revolusi mendadak, yaitu revolusi perkembangan masyarakat kota. 

Adapun peristiwa itu pertama terjadi di Pulau Kreta, kira-kira pada tahun 4000 S.M., di perairan sungai-sungai Tigris dan Eufrat sekarang daerah tersebut Negara Siria dan Irak, serta Muara Sungai Nil sekarang daerah tersebut Negara Mesir sekitar kota Kairo. 

 

B. Tiga Wujud Kebudayaan 

https://www.google.com/3-wujud-kebudayaan 

J. J. Honingmann yang dalam buku pelajaran antropologi, berjudul The World of man (1959:hlm. 11-12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifacts. J. J. Honingmann berpendapat bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu: 

  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya. 
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam manusia dalam masyarakat.
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia ada tiga, yaitu:
  1. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau di foto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Apabila menyatakan gagasannya dalam tulisan, maka lokasinya ada di dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Dalam bahasa Indonesia wujud idea dari kebudayaan, disebut adat-istiadat.
  2. Wujud kedua disebut sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitan-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain. Bersifat konkret, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.  
  3. Wujud ketiga disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Contoh, pabrik, komputer, kapal, candi, dan sebagainya.

  

C. Adat Istiadat 

1. Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi 

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat karena nilai kebudayaan merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagai besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pendoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi. 

Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, ruang lingkup luas, dan tidak konkret. Namun, karena sifat tersebut, nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga kebudayaan bersangkutan. 

Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan kerangka variasi sistem nilai budaya adalah: 

  1. Masalah hakikat dari hidup manusia (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia pada hakikatnya suatu hal buruk dan menyedihkan, karena itu harus dihindari. Misalnya kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh oleh agama Budha dapat disangka mengopsesikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Tindakan manusia akan mementingkan segala usaha menuju tujuan untuk dapat memadamkan hidup itu (nirwana = meniup habis), dan meremehkan segala tingkatan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara). 
  2. Masalah hakikat dari karya manusia (MK), ada kebudayaan yang memandang karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup, memberikan kedudukan penuh kehormatan dalam masyarakat, gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. 
  3. Masalah hakikat dari kedududan manusia dalam ruang waktu (MW), ada kebudayaan yang memandang penting masa lampau dari kehidupan manusia. Sebaliknya ada kebudayaan dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. 
  4. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam (MA), ada kebudayaan memandang alam sebagai suatu hal yang begitu dahsyat, sehingga manusia pada hakikatnya hanya bersifat menyerah tanpa dapat berusaha banyak. Sebaliknya, beberapa kebudayaan lain memandang alam sebagai suatu hal yang dapat dilawan oleh manusia, dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha menaklukkan alam. 
  5. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM), ada kebudayaan yang sangat mementingkan hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya. Sebaliknya, kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horisontal antara manusia dengan sesamanya. Selain itu ada kebudayaan yang mementingkan individualisme, menilai tinggi anggapan bahwa manusia harus berdiri sendiri dalam hidupnya, dan sedapat mungkin mencapai tujuannya tanpa bantuan orang lain. 

Lain lagi dengan konsep “ideologi”, merupakan suatu sistem pedoman hidup atau cita-cita, yang ingin sekali dicapai oleh banyak individu dalam masyarakat, tetapi lebih khusus sifatnya daripada sistem nilai budaya. 

Suatu ideologi dapat menyangkut sebagian besar dari warga masyarakat, tetapi dapat juga menyangkut golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. 

Sebaliknya, istilah ideologi biasanya tidak dipakai dalam hubungan dengan individu. Kita bisa bicara tentang ideologi negara, ideologi masyarakat, ideologi golongan tertentu, sedangkan dalam hubungan dengan individu kita tidak bicara tentang ideologi si A, tetapi tentang cita-cita si A. 

Ideologi suatu negara biasanya disusun secara sadar oleh tokoh-tokoh pemikir dalam suatu negara, suatu masyarakat, atau golongan tertentu dan negara. Masyarakat atau golongan tadi akan berusaha untuk menyebarluaskan ideologi tersebut kepada warganya.

2. Adat-istiadat, Norma, dan Hukum 

https://www.google.com/suku-toraja-dan-budayanya

Norma berupa aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus, sedangkan perumusannya bersifat amat terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. 

Norma-norma yang khusus itu dapat digolongkan menurut pranata yang ada di masyarakat, seperti norma ilmiah, norma pendidikan, norma politik, norma peradilan, norma ekonomi, norma estetika atau keindahan, norma agama, dan sebagainya. 

Para individu dalam hal mementaskan peranan mereka tidak bertindak membabi buta, tetapi bertindak menurut aturan-aturan tertentu, yaitu: menurut norma-norma khusus yang jelas, tegas, dan tidak meragukan. 

Ahli adat adalah individu-individu yang mengetahui banyak mengenai seluk-beluk sistem norma dalam suatu pranata atau beberapa pranata yang berkaitan satu sama lain. 

Sebaliknya, dalam masyarakat yang kompleks dimana jumlah pranatanya sangat banyak dan jumlah norma tiap pranata sangat besar, seorang ahli adat dalam masyarakat yang sederhana, tidak dapat menguasai seluruh pengetahuan mengenai sistem norma yang ada dalam kehidupan masyarakat. 

Dengan demikian, ada ahli khusus mengenai norma kekerabatan, norma perdagangan, norma keagamaan, dan sebagainya. 

Misalnya, norma pranata ekonomi perlu ada ahli khusus mengenai norma perdagangannya, norma perburuhannya, norma koperasi, dan lain sebagainya. 

Ahli sosiologi W. G. Sumner membagi norma menjadi 2 golongan, yaitu: pertama, norma yang sangat berat apabila terjadi pelanggaran terhadap norma seperti itu, para pelanggar akan dituntut, diadili, dan dihukum disebut norma golongan Mores. 

Dan kedua, disebut norma golongan Folkways, yaitu norma yang dianggap kurang berat apabila dilanggar tidak akan ada akibat yang panjang, tetapi hanya tertawaan, ejekan, atau gunjingan saja oleh warga masyarakat lainnya. 

Istilah Mores dalam bahasa Indonesia dengan arti khusus disebut “adat-istiadat”, sedangkan Folkways disebut “tata cara”. 

Para ahli antropologi membedakan antara adat dan hukum adat atau mengenai ciri-ciri dasar dari hukum dan hukum adat. Mereka dapat kita bagi dalam 2 golongan. 

Golongan pertama,  beranggapan bahwa tidak ada aktivitas hukum dalam masyarakat yang tidak bernegara, seperti masyarakat kelompok berburu dan meramu, masyarakat peladang yang tidak mengenal dunia lain di luar desa mereka. 

Anggapan itu disebabkan karena para ahli menyempitkan definisi meraka tentang hukum hanya pada aktivitas-aktivitas  hukum dalam masyarakat yang bernegara. 

Ahli antropologi A. R. Radcliffe Brown berpendirian bahwa tata tertib masyarakat tanpa sistem hukum itu tetap terjaga, karena warganya mempunyai suatu ketaatan yang seolah-olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi masyarakat untuk menghukum pelanggaran itu. 

Pendirian A. R. Radcliffe Brown tercantum dalam buku karangannya berjudul Primitive Law dalam Encyclopaedia of the Social and Sciences (1933, IX-X: hlm. 202-206). 

Golongan kedua, tidak mengkhususkan definisi mereka tentang hukum, hanya kepada hukum dalam masyarakat bernegara dengan suatu sistem alat-alat kekuasan saja. 

Ahli antropologi B. Malinowski berpendapat ada suatu dasar universal yang sama antara hukum dalam masyarakat bernegara dan masyarakat terbelakang. 

Kemudian berdasarkan pengetahuan yang komparatif tentang beragam masyarakat dan kebudayaan, konsepsinya tentang dasar dari hukum pada umumnya, yaitu: semua aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi suatu rangkaian hasrat naluri dari manusia. 

Diantaranya mempunyai fungsi memenuhi untuk saling memberi dan menerima berdasarkan prinsip, disebut the principle of reciprocity. 

Pendirian B. Malinowski tercantum dalam buku karanganya berjudul Crime and Custom in Savage Society (1949). 

Sebelumnya ada ahli hukum adat Indonesia Ter Haar berpendirian pedoman untuk menentukan suatu kasus hukum atau bukan kasus hukum dalam suatu masyarakat adat dan sistem hukum yang tidak terkodifikasi itu adalah keputusan para pejabat pemegang kuasa dalam masyarakat. 

Pendirian ini diajukan oleh Ter Haar dalam beberapa pidato ilmiah, diantaranya adalah Het Adatprivaatrecht van Nederlandsch-in Weteschap, Praktijk en Onderwijs (1937). 

Ahli antropologi dari Universitas Yale, Amerika Serikat, bernama L. Pospisil melakukan penelitian lapangan tahun 1953-1955 di daerah suku Kapauku, di lembah Kamu, daerah danau-danau Paniai di Irian Jaya. 

Dalam penelitian itu tercatat 121 aturan adat yang hidup dalam ingatan orang Kapauku (mereka tidak mengenal tulisan). Ke-121 aturan abstrak itu dicocokkannya dengan 176 kasus konflik yang nyata terjadi dalam masyarakat suku Kapauku, dan ternyata hanya 87 diantara ke-176 kasus diputuskan menurut salah satu dari ke-121 aturan tadi. 

Lebih dari separuh kasus-kasus diputuskan menurut kebijaksanaan dari tokoh-tokoh masyarakat yang diserahi wewenang. 

Hasil analisa tadi menimbulkan pemikiran L. Pospisil, suatu pengertian, bahwa aturan adat abstrak, walaupun ada dan diketahui oleh warga masyarakat, rupanya tidak selalu dapat dilakukan pengawasan sosial terhadap tingkah laku masyarakat. 

Sebaliknya keputusan-keputusan dan tokoh-tokoh yang diberi wewenanglah yang memegang peranan penting. 

Berdasarkan pengertian yang dicapai selanjutnya dilakukan perbandingan secara cross-culture terhadap kasus-kasus hukum yang serupa dalam 32 kebudayaan lain dari berbagai daerah yang tersebar luas di muka bumi (bahan dikumpulkan dari studi di perpustakaan dan dengan menggunakan arsip etnografi yang terkenal Human Relations Area Files). 

Hasil dari analisis komparatif tadi adalah suatu teori tentang batas antara adat dan hukum adat sebagai berikut: 

  1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari empat ciri dari hukum, atau attributes of  law. 
  2. Attribute yang terutama disebut attribute of authority. Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan adalah keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Misalnya, ada serangan terhadapa diri individu, serangan terhadapa hak orang lain, serangan terhadap pihak yang berkuasa, serangan terhadap keamanan umum. 
  3. Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa serupa dalam masa yang akan datang. 
  4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. 
  5. Attribute yang keempat disebut attribute of sanction. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikeluarkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (misalnya, dalam sistem hukum bangsa-bangsa Eropa). Selain itu, berupa sanksi rohani seperti menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci, dan sebagainya. 

Demikianlah terori L. Pospisil mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan antara adat dan hukum adat. Teori itu termaktub dalam disertasinya yang berjudul The Kapauku Papuans and Their Law (1956).  

 

D. Unsur-Unsur Kebudayaan 

https://www.google.com/7-unsur-unsur-kebudayaan

Tujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia adalah:

  1. Bahasa,
  2. System pengetahuan,
  3. Organisasi social,
  4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
  5. System mata pencaharian hidup,
  6. System religi,
  7. Kesenian.

Unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas, yaitu wujudnya berupa sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisik. 

Sistem ekonomi misalnya mempunyai wujud sebagai konsep, rencana, kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai wujud berupa tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transportasi, pengecer dengan konsumen, dan selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsur yang berupa peralatan, komoditi, dan benda ekonomi. 

Sistem religi misalnya mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman, maupun yang kadangkala, dan mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. 

Unsur universal kesenian dapat berwujud gagasan, ciptaan pikiran, ceritera dan syair yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian, tetapi selain itu kesenian juga berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah, benda kerajinan, dan sebagainya. 

 

E. Integrasi Kebudayaan 

1. Metode Holistik 

Memahami keterkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lain dalam sebuah kesatuan kebudayaan.

2. Pikiran Kolektif 

Gagasan yang sudah dimilki oleh sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa satu gagasan tunggal mengenai suatu hal yang khas, melainkan sudah berkaitan dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks gagasan-gagasan. 

Ahli sosiologi dan antropologi Perancis, bernama E. Durkheim, mengembangkan konsep representations collectives (pikiran-pikiran kolektif) dalam sebuah karangan berjudul Representation Individuelles et Representations Collectives (1898). Cara Durkheim menguraikan konsep itu tidak berbeda dengan cara ilmu psikologi menguraikan konsep berpikir. 

Ia juga beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah, seperti rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lain-lain itu, terjadi dalam organ fisik, khususnya berpangkal di otak, dan sistem syaraf manusia. 

Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation. Oleh karena gagasan berada dalam alam pikiran seorang individu, maka disebutnya representation individuelle.  

3. Fungsi Unsur-Unsur Kebudayaan 

Fungsi kebudayaan ialah

  1. Menerangkan fungsi itu sebagai hubungan antara suatu hal dengan tujuan tertentu. Misalnya, mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mengangkut manusia atau barang dari suatu tempat ke tempat lain.
  2. Menerangkan kaitan antara satu hal dengan hal lain. Kalau nilai suatu hal x itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh x tadi juga berubah.
  3. Menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi. Suatu bagian dari suatu organisme yang berubah menyebabkan perubahan dari berbagaia bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme.

4. Fokus Kebudayaan 

Suatu kompleks kebudayaan yang tampak amat digemari warga masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat yang bersangkutan. 

Misalnya kesenian dalam masyarakat orang Bali, gerakan kebatinan dan mistik dalam kebudayaan golongan pegawai negeri, atau priyayi, di Jawa Tengah, peperangan antara federasi-federasi kelompok kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di Lembah Besar Baliem di Pegunungan Jayawijaya di Irian Jaya, atau Kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.

5. Etos Kebudayaan 

Suatu watak khas tertentu yang tampak, sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya dalam ilmu antropologi disebut Ethos. 

Sering tampak pada gaya tingkah laku warga masyarakatnya, kegemaran-kegemaran mereka, dan berbagai benda budaya hasil karya mereka. 

Misalnya, berdasarkan konsep itu, seorang Batak mengamati kebudayaan Jawa, sebagai orang asing yang tidak mengenal kebudayaan Jawa dari dalam. 

Dapat mengatakan bahwa watak khas kebudayaan Jawa memancarkan keselarasan, kesuraman, ketenangan berlebih-lebihan, sehingga sering menjadi kelambanan, kegemaran akan tingkah laku yang mendetail ke dalam, atau njelimet, dan kegemaran akan karya dan gagasan-gagasan yang berbelit-belit. 

Kemudian gambaran orang Batak mengenai watak kebudayaan Jawa tadi biasanya akan diilustrasikan dengan bahasa Jawa yang terpecah ke dalam tingkat-tingkat bahasa yang sangat rumit dan mendetail, dengan sopan-santun, dan gaya tingkah laku yang menganggap pantang berbicara dan tertawa keras-keras, gerak-gerik yang ribut dan agresif. 

Tetapi menilai tingkah laku yang tenang tidak tergoyahkan, dengan kegemaran orang jawa akan warna-warna yang gelap dan tua, akan seni suara gamelan yang tidak keras, akan benda-benda kesenian dan kerajinan dengan hiasan-hiasan yang sangat mendetail dengan bentuk-bentuk berliku-liku yang makin ke dalam menjadi makin kecil, dan sebagainya.

6. Kepribadian Umum 

Metode yang dikembangkan ahli antropolgi untuk melukiskan suatu kebudayaan secara holistik adalah dengan memusatkan perhatian terhadap kepribadian umum yang dominan dalam kebudayaan itu. 

https://www.google.com/integrasi-kebudayaan

F. Kebudayaan dan Kerangka Teori Tindakan 

Dalam hal menganalisis suatu kebudayaan dalam keseluruhan perlu dibedakan secara tajam antara empat komponen, yaitu:

  1. Sistem budaya atau culture system, merupakan komponen yang abstrak dari kebudayaan dan terdiri dari pikiran, gagasan, konsep, tema berpikir, dan keyakinan. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia lebih lazim disebut adat-istiadat. Fungsi dari budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. 
  2. Sistem sosial atau social system, terdiri dari aktivitas, tindakan, dan tingkah laku manusia berinteraksi antarindividu dalam kehidupan masyarakat. Sistem sosial bersifat konkret dan nyata daripada sistem budaya, artinya bahwa tindakan manusia itu dapat dilihat dan diobservasi. Interaksi manusia itu di satu pihak ditata dan diatur oleh sistem budaya, tetapi dipihak lain dibudayakan menjadi pranata-pranata oleh nilai dan norma tersebut. 
  3. Sistem kepribadian atau personality system, mengenai jiwa dan watak individu yang berinteraksi sebagai warga masyarakat. Kepribadian individu dalam suatu masyarakat, walaupun berbeda-beda satu sama lain, namun juga dipengaruhi oleh nilai dan norma dalam sistem budaya, serta pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah melalui proses sosialisasi dan proses pembudayaan selama hidup sejak masa kecilnya. Dengan demikian, sistem kepribadian manusia berfungsi sebagai sumber motivasi dari tindakan sosialnya. 
  4. Sistem organik atau organic system, melengkapi seluruh kerangka dengan mengikutsertakan ke dalamnya proses biologis dan biokimia dalam organisme manusia sebagai suatu jenis makhluk alamiah yang apabila dipikirkan lebih mendalam juga ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan manusia, dan bahkan juga gagasan-gagasan yang dicetuskannya.



Daftar Pustaka:

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi 2009, Rineka Cipta, Jakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANALISIS VISUAL DARI PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Analisa Visual merupakan metode bagaimana pikiran memproses informasi visual yang diterimanya dari mata berupa gambar, vidio, dan lain-lain....